Menuntut Peran Elit Partai, Antisipasi Konflik Horizontal pada Pemilu 2024. Pemiliham Umum (Pemilu) serentak tidak lama lagi, tepatnya 14 Februari 2024. .....
Pemiliham Umum (Pemilu) serentak tidak lama lagi, tepatnya 14 Februari 2024. Semangat para partisan dan konstituen semakin tinggi setelah melihat adanya tiga calon pemimpin negeri yang dipilih partai atau kelompok partai yang memenuhi batas presidential threshold.
Sementara keputusan jadwal pendaftaran bakal calon presiden dan wakil presiden baru saja disepakati, antara DPR RI, Kementerian Dalam Negeri dan Komisi Pemilihan Umum (KPU), yaitu masa pendaftaran 19-25 Oktober 2023. Artinya dalam waktu dekat, bisa jadi tensi perpolitikan semakin tinggi, lantaran saling beradu argumen tentang kehebatan calon yang didukung.
Data yang diperoleh dari Komisi
Pemilihan Umum (KPU), jumlah pemilih pada Pemilu 2024 sebanyak 204.807.222, terdiri dari
pemilih dalam negeri laki-laki 101.467.243 dan perempuan 101.589.505, sedangkan pemilih luar negeri
laki-laki 751.260 dan perempuan 999.214.
Dari 38 provinsi terdapat
514 kabupaten/kota, 7.277 kecamatan dan 83.731 desa/kelurahan dengan
jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) sebanyak 820.161. Sementara di luar negeri
dari dari
128 negara perwakilan, terdiri PPLN, KSK dan Pos sebanyak 3.059.
Tentunya dari jumlah ratusan juta it, tak pernah salah bila ada sebagian merasa khawatir terjadi konflik horizontal.
Ada dua gelombang yang diprediksi berpotensi konflik, yang dalam hal ini tidak bermaksud memprovokasi, tetapi dari pengalaman terdahulu bisa jadi maraknya konflik karena tidak segera disikapi para pihak yang terkait, termasuk kalangan elit partai.
Gelombang arus bawah, bisa terjadi konflik kendati kadarnya rendah yang hanya cenderung fokus pada pemilihan calon legislatif, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Tetapi bisa jadi menambah tinggi bila tidak diantisipasi pihak keamanan (polisi) dan pengawas (Bawaslu) serta penyelenggara (KPU) dapat menguasai lapangan.
Sementara konflik di tingkat tinggi, tidak lain adalah pemilihan presiden dan wakil presiden. Kendati bersyukur telah terjadi proses demokrasi di negeri seribu pulau ini, tetapi tensi politik di lapangan semakin memanas.
Ironisnya, potensi konflik bisa terjadi justru bukan dari kalangan bawah, tetapi dari kalangan elit yang sudah tidak lagi menggunakan etika dalam berpolitik. Seharusnya kalangan elit dapat mendidik masyarakat untuk melakukan kegiatan kampanye dengan kesantunan dan tidak saling menyakiti.
Setelah mengamati beberapa kali Pemilu, penulis fokus pada perilaku kalangan elit yang sudah tidak lagi menyampaikan pandangannya dengan kesantunan, tetapi justru bagai anak remaja saat melontarkan cacian yang tidak lagi santun kendati dengan ucapan lembut.
Kalangan elit yang dimaksud di sini, mulai dari tim sukses, pengurus partai tingkat pusat dan daerah, tokoh masyarakat pendukung partai atau calon presiden.
Masih layak bila masyarakat yang sehat, untuk hidup di era demokrasi berharap Pemilu 2024 damai tanpa ada konflik sekecil apapun dan tanpa ada lagi gugatan seperti di tahun 2019 lalu.
Maka sangat layak bila sebagian masyarakat menuntut para elit agar menunjukan sikap santun dalam mengkampanyekan partainya atau calon presidennya, karerna elit berada di depan dan bertanggung jawab untuk meminimalisir terjadinya konflik.

Komentar
Posting Komentar